MEMBACA
DAN SASTRA ANAK
Latar
Belakang dan Tujuan
Dalam
buku Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah bab IV telah
dibahas bahwa secara alami anak-anak senang menikmati karya sastra anak-anak.
Kondisi ini perlu dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa, agar anak-anak senang
belajar berbahasa, dan apabila dimanfaatkan untuk pembelajaran bidang studi
diharapkan mereka juga lebih senang mempelajari bidang studi tersebut. Tambahan
lagi, secara tidak langsung anak anak akan menyerap nilai keindahan dan nilai
moral yang terkandung dalam karya sastra. Bab ini meninjau secara spesifik
hubungan antara pembelajaran bahasa dan sastra, yakni hubungan antara salah
satu keterampilan berbahasa tertulis yang bersifat reseptif yaitu membaca dan
sastra anak. Disajikan pula pengembangan penbelajaran bahasa Indonesia dengan
fokus membaca karya sastra bagi murid murid kelas tiga sampai dengan kelas enam
sekolah dasar. Konsep konsep yang mendasari hubungan antara membaca dan sastra
dan cara mengembangkan pembelajarannya di kelas tinggi sekolah dasar perlu
dijadikan salah satu pokok permasalahan yang disajikan dalam bab ini, karena
mahasiswa PGSD diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk
mengembangkan kemampuan dan kesenangan membaca murid kelas tinggi di sekolah
dasar.
Setelah
mempelajari dan melaksanakan tugas-tugas yang tersedia, diharapkan Anda mampu
(1)
memahami hubungan antara membaca dan karya sasra,
(2)
menyadari manfaat karya sastra anak anak sebagai dasar pengembangan keterampilan
dan kesenangan membaca, dan
(3)
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran bahasa dengan berfokus
pada membaca karya sastra.
BAB II
A.
Kaitan
Membaca dan Sastra
Sastra
berfungsi menghibur dan sekaligus juga mendidik, sehingga paling sedikit ada
dua nilai yang diperoleh dari sastra yaitu memahami kebutuhan akan kepuasan
pribadi dan pengembangan kemampuan berbahasa. Kepuasan pribadi yang diperoleh
oleh anak-anak setelah membaca karya sastra sangat penting artinya, sebelum
mereka diminta untuk menguasai keterampilan membaca. Keberhasilan kegiatan
membaca tidak mungkin dapat dicapai apabila anak-anak tertarik pada bacaan yang
mereka baca karena memberikan pengalaman yang menyenangkan. Selanjutnya karya
sastra juga berfungsi memberikan penguatan pada kemampuan berfikir naratif,
karena pada umumnya karya sastra berbentuk cerita bersifat naratif. Karya
sastra juga berfungsi mengembangkan wawasan. Wawasan inilah yang mengembangkan
pemahaman akan kehidupan, yang benar benar dapat membuat pembaca mencapai
kematangan pribadi.
Karya
sastra juga membuat pembaca memperoleh pengalaman universal Dengan
membandingkan cerita yang dibaca dengan cerita-cerita yang lain atau dengan
pengalaman hidup yang sebenarnya. dan dengan menemukan carahidup bersama dalam
berbagai fenomina kehidupan, pembaca dapat memperoleh pengalaman yang bersifat
universal.
(Huck
dan Stott lewat Marhaeni 1996-7-8).
Fungsi
karya sastra dalam mengembangkan kemampuan berbahasa dapat disebut sebagai
nilai pendidikan. Banyak hasil pendidikan yang menunjukkan keefektifan karya
sastra dalam mengembangkan kemahiran berbahasa. Misalnya Sokolski, dkk.
Menemukan bahwa buku bergambar yang baik dapat merangsang kapan pikiran dan
perasaan anak secara lisan. Lehman juga menemukan bahwa pembelajaran
berdasarkan karya sastra membina hubungan social antara murid dan antara murid
dan guru (Marhaeni, 1996: 91).
Banyak sekali penelitian mengenai pembelajaran
membaca menggunakan karya sastra. Ditemukan bahwa anak anak memperoleh nilai
yang lebih tinggi dalim kosakata dan penahaman membaca dibandingkan dengan anak
anak yang memperoleh pembelajaran membaca yang tidak berdasarkan karya sastra Bahkan
aporan nasional mengenai peningkatan hasil membaca di Amerika Serikat pada
tahun 1992 menunjukkan bahwa anak anak kelas empat sekolah dasar yang diajar
oleh guru guru yang menekankan penggunaan karya sastra sebagai materi
pembelajaran membaca menunjukkan nilai rata rata membaca yang lebih tinggi dari
pada mereka yang diajar pada penggunaan karya sastra untuk pembelajaran membaca
(Lehman, lewat Marhaeni, 1996: 9).
B.
Sastra
Anak-anak dan Pengembangan Keberwacanaan
Keberwacanaan
adalah kemampuan menggunakan membaca dan menuli dalam menunaikan tugas-tugas
yang bertalian dengan dunia kerja dan kehidupan di luar sekolah (Tompkins,
1991:81). Dari pernyataan tersebut dapat dicirikan bahwa keberwacanaan mengacu
pada keterampilan membaca dan menulis secara efektif. Pengembangan keterampilan
membaca dan menulis telah diamanatkan di dalam kurikulum Pendidikan Dasar
khususnya pendidikan dasar yang diselenggarakan di SD. Melalui pendidikan di
SD, siswa diharapkan memperoleh bekal kemampuan membaca dan menulis. Dalam
kaitan ini mata pelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran penting. Pelajaran
bahasa Indonesia berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi mengungkapkan
pikiran dan perasaan melalui kegiatan membaca dan menulis (Kurikulum Pendidikan
Dasar 1994).
Pemberian
bekal keberwacanaan sangat penting artinya bila dikaitkan dengan tuntutan
pemilikan kemahirwacanaan dalam abad informasi (Periksa Joni, 1990 Kemahirwacanaan
akan terbentuk melalui pengembangan keberwacanaan, melalui proses pengenalan
berhadap wacana tulis, dan pembentukan kebiasaan atau kegemaran berwacana
secara intens yang dimulai secara formal sejak siswa duduk di kelas satu SD.
Pengembangan
keberwacanaan dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan sastra anak-anak sebagai
media pembelajaran membaca dan menulis. Pemanfaatan ini didasarkan pada asumsi
bahwa sastra dapat mengembangkan bahasa anak (Huck, 1987 Ellis, 1989). Secara
khusus sastra dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulis pada anak-anak
(Huck, 1987).
Terkait
dengan persoalan di atas, di dalam tulisan ini dikemukakan hakikat keberwacanaan,
dan model pengembangan keberwacanaan melalui sastra.
Istilah
keberwacanaan merupakan terjemahan literacy dalam bahasa Inggris. Semula, “literacy” diartikan sebagai pengetahuan
tentang cara membaca (keberaksaraan) tetapi kemudian berubah karena tujuan yang
diharapkan bukan sekedar mengenal aksara atau tulisan. Akan tetapi lebih luas
dari itu, literacy mencakup kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks inilah
istilah keberwacanaan digunakan. Tompkins 1991:18) memberikan batasan tentang keberwacanaan
(literacy) sebagai the competence to
carry out compley tasks using reading and writing related to the world of work
and to life outside the school. Diyakini oleh para pendidik bahwa
keberwacanaan sangat dibutuhkan pada abad ke-21.
Istilah
keberwacanaan literacy telah digunakan dalam berbagai cara. Para guru
memperkenalkan komputer pada anak SD dan mengembangkan keberwacanaan komputer
computer literacy Hirsch (1987) menyebut jenis keberwacanaan lain, yaitu
keberwacanaan budaya (cultural literacy) sebagai cara memperkenalkan anak pada
gagasan-gagasan ideal dari budaya lama yang berpengaruh dan membentuk
masyarakat saat ini. Bagaimanapun, keberwacanaan adalah suatu alat atau sarana
yang dipakai untuk belajar tentang dunia dan untuk berperan serta secara penuh
dalam masyarakat.
1. Awal
keberwacanaan
Keberwacanaan
adalah suatu proses yang dimulai sebelum pendidikan dasar dan berlanjut ke masa
dewasa. Keberwacanaan digunakan pada saat anak berumur 5 tahun atau pada saat
memasuki taman kanak-kanak sebagai persiapan untuk pembelajaran membaca dan
menulis yang akan dimulai secara formal pada tingkat pertama.
implikasi dari hal ini adalah bahwa dalam
perkembangan anak-anak ada saat yang tepat untuk mengajari mereka membaca.
Sejak tahun 1970-an hal ini telah didiskritkan baik oleh para guru di kelas
maupun oleh para peneliti dalam observasi (Clay, 1989). Anak anak itu sendiri
menunjukkan perilaku bahwa mereka dapat menceritakan kembali cerita cerita, dan
isi surat, membuat suatu tulisan, serta mendengarkan suatu cerita yang
dibacakan keras-keras kepada mereka. Beberapa anak bahkan belajar membaca
sendiri.
Perspektif
tentang cara anak menjadi berwacana itulah yang disebut awal keberwacanaan
(emergent literacy). Konsep keberwacanaan telah meluas meliputi aspek-aspek
sosial dan budaya, pembelajaran bahasa, serta pengalaman anak sekaligus pemahaman
mereka tentang bahasa tulis yang disertakan sebagai bagian dari awal keberwacanaan.
Teale
dan Sulaby (1989) menggambarkan potret/ sosok seorang anak kecil sebagai
pelajar keberwacanaan (literacy) dengan karakteristik sebagai berikut.
(1)
Anak-anak sudah mulai belajar membaca dan menulis sejak dini
(2)
Anak kecil mempelajari fungsi keberwacanaan melalui observasi dan Pendidikan
Guru Sekolah Dasar berperan serta dajani kehidupan nyata yang menggunakan
membaca dan menulis.
(3)
Kemampuan membaca dan menulis anak berkembang bersamaan dan berhubungan melalui
pengalamananya dalam membaca dan menulis.
(4)
Anak belajar melalui pelibatan aktif dengan materi-materi wacana dengan
membangun pengertian mereka tentang membaca dan menulis.
Anak
kecil dianggap sebagai pelajar aktif yang membentuk pengetahuan tentang baca
tulis dengan dibantu oleh orang tua dan orang lain. Para pemerhati tersebut
membantu anak anak dengan menunjukkan keberwacanaan melalui membaca dan menuulis,
dengan cara terus memasukkan materi-materi, dan dengan memberi kesempatan anak
anak untuk memusuki dunia baca tulis. Lingkungan sekitar merupakan hal paling
baik. tempat anak memperoleh pengalaman membaca dan menulis dalam kehidupan
sehari hari mereka dan dapat mengobservasi orang lain yang terlibat di dalam
aktivitas berwacana.
Berlangsungnya
pemberwacanaan ditentukan oleh empat komponen
Jalongo
(1992) memberikan proses keberwacanaan atas empat elemen umum yaitu:
(i) pesan tekstual textua! intent
(ii)
daya tawar (negotiability)
(iii)
bahasa digunakan untuk meningkatkan bahasa (language used to futetune language),
dan
(iv) pengambilan risiko (risk taking). Pesan
tekstual berarti bahiwa dalam pemberwacanaan, pesan tertulis tetap menjadi
tujuan komunikasi. Daya tawar berarti bahwa makna pesan tekstual dapat
diinterpretasikan oleh anak dan dipahami pembaca (audience). Bahasa digunakan
untuk meningkatkan bahasa berarti bahwa anak akan menggunakan lebih banyak
bahasa untuk menjelaskan pesan Pengambilan risiko terjadi ketika anak menerima
tantangan baru dalam berbahasa.
2. Fungsi
sastra anak-anak dalam pengembangan keberwacanaan
Pada
bagian awal tulisan ini dikemukakan bahwa keberwacanaan mengacu pada kemampuan
membaca dan menulis. Terkait dengan dua kemampuan inilah fungsi sastra
anak-anak dalam pengembangan keberwacanaan dijelaskan dengan memanfaatkan informasi
(Huck, 1987:15-16).
Sastra
dapat mengembangkan kemampuan membaca anak. Penelitian Thorndike tentang
membaca di berbagai negara menunjukkan bahwa membaca untuk anak
(reading
aloud) merupakan faktor penting dalam belajar membaca pada anak. Membacakan
cerita atau puisi pada anak dapat menggerakkan minat anak dalam membaca. Saat
anak menikmati buku yang dibacakan mereka akan termotivasi untuk membaca
buku-buku yang lain dari pengarang yang sama atau dengan tema yang sama (Ellis,
1989:55).
Penelitian
yang dilakukan Sostarich terhadap anak kelas enam yang aktif membaca dan yang
tidak aktif membaca menghasilkan temuan bahwa anak yang aktif (sering) membaca,
ternyata sejak usia 3 tahun telah dibacakan buku oleh orang tuanya. Untuk anak
anak yang tidak mendapatkan kesempatan tersebut di rumah, sekolah dapat memberikan
pengalaman yang kaya tentang sastra karena aktivitas membacakan cerita untuk
anak usia 7 tahun yang sebelumnya tidak terpajani sastra berpengaruh positif
pada kemampuan membaca mereka sebagimana temuan Cohen.
Dalam
penelitian Cohen, buku buku dibacakan pada anak setiap hari selama satu tahun.
Setelah 20 menit dibacakan buku anak anak ditugasi melakukan Pendidikan Guru
Sekolah Dasar sesuatu dengan buku agar lebih mudah mengingatnya. Misalnya,
mendramatisasikan cerita, menggambarkan tokoh yang disukai, atau
membandingkannya dengan cerita yang mirip. Pada akhir tahun. Cohen mendapati
kelompok eksperimental secara eignifikan melebihi kelompok kontrol dalam hal
membaca kosakata dan membaca pemahaman. Terbukti bahwa membaca untuk anak dapat
membantu mereka belajar membaca.
Menyimak
cerita juga dapat memotivasi anak untuk mulai belajar membaca. Anak-anak dapat
belajar bahwa membaca memberikan kesenangan dan mereka akan belajar sendiri.
Menyimak cerita dapat memperkenalkan anak pada pola-pola bahasa dan
mengembangkan kosakati serta maknanya.
Pengetahuan tentang struktur cerita dan
kemampuan mengantisipasi apa yang akan dilakukan tokoh dapat membantu anak
memprediksi lakuan dan menentukan makna cerita yang dibacanya. Lebih banyak
pengalaman anak dengan sastra, lebih besar pula kemampuan anak dalam menangkap
makna cerita dan memprediksi apa yang akan teriadi.
Penelitian
Hepler terhadap perilaku membaca anak dalam program pengajaran dengan sastra
sebagai landas tumpu (literature based program) di kelas 5 dan 6 selama satu
tahun menghasilkan temuan bahwa anak anak tersebut membaca sekitar 45 buku per
anak dalam satu tahun dengan rentangan 25- 122 buku. Temuan tersebut dapat
dibandingkan dengan program membaca dasariah (basa) yang hanya memungkinkan
membaca buku bacaan tidak lebih dari 10 buku per anak per tahun. Hanya dengan
membaca buku dalam jumlah cukup banyak kelancaran membaca dapat terwujud.
Melalui penelitian longitudinal selam empat tahun,
Mills melaporkan temuan bahwa anak kelas 4 yang membaca atau menyimak kemudian
mendiskusikan sastra anak-anak sebagai landas tumpu menulis, secara signifikan
memiliki skor lebih tinggi dalam menulis bebas dari pada anak dalam kelompok
kontrol yang tidak menggunakan sastra dengan cara tersebut. Anak menulis dan mempelajari
cara mendengarkan dan mendiskusikan sastra bermutu.
Diane
DeFord yang telah meneliti tulisan anak anak kelas 1-3 menunjukkan pengaruh
metode dan teks pada tulisan anak anak Dalam kelompok sastra, anak menghasilkan
bentuk bentuk keragaman sastra yang lebih luas melibatkan cerita buku
informasi, lagu, puisi, dan laporan surat kabar.
Isi cerita anak juga merefleksikan sastra yang
telah mereka dengar. Secara sadar atau tidak, anak memungut kata kata
frase-frase, unsur plot, bahkan pola-pola (intonas) dialog dari buku buku yang
mereka kenal.
Peran
membaca juga cukup signifikan dalam pengembangan menulis Smith menyatakan pengembangan
komposisi dalam menulis tidak dapat dikembangkan dalam menulis saja tetapi
menuntut aktivitas membaca. Dan kegemaran membaca. Hanya dari bahasa tulis
orang lain, anak anak dapat mengamati dan memahami konvensi serta gagasan
secara bersama-saina (Huck, 1987).
C.
Sastra
sebagai Landasan Pengembangan Membaca.
Program
pembelajaran membaca yang berlandaskan sastra menggunakan berbagai pendekatan dan strategi untuk membantu perkembangan
keterampila berbahasa.
Pembelajarannya bersifat terpadu. yang rendah diterapkan dalam situasi kelas yang bagaimana pun. (Rothlein
dan Meinbach, 1991: 222).
Jadwal
membaca tiap hari dapat digambarkan dengan cara di bawah ini yang merupakan kerangka penerapan
program membaca yang seimbang dan
sesuai dengan perkembangan anak di sekolah dasar. Waktu dua jam (120 menit) dipandang sudah sesuai
karena keterampilan berkumunikasi dalam
bidang membaca, menulis menyimak,
dan berbicara diajarkan secara
terpadu. Namun, penentuan waktu ini bersifat fleksibel, yang paling penting adalah bahwa guru harus
senantiasa tanggap terhadap kebutuhan dan minat anak-anak (Roth ein dan Meinbach, 1991 233).
Program
membaca yang sesuai dengan perkembangan anak harus mencerminkan keseimbangan antara kegiatan kelompok besar, kelompok
kecil. dan individual. Keseimbangan
juga harus dicapai antara kegiatan kegiatan
yang diarahkan oleh guru dan yang atas keinginan murid.
1. Kegiatan
Terarah
guru
memerlukan waktu khusus untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan tertentu
kepada sekelompok anak atau seluruh anak di kelas Keterampilan- keterampilan
tertentu harus diperkenalkan dan diajarkan hanya jika sesuai dengan karya
sastra yang sedang didiskusikan. Dalam keseluruhan program pembelajaran bahasa,
kegiatan terarah kadang kadang berwujud pembelajaran strategi membaca.
Pembelajaran strategi membaca ini memberikan pengutahuan dasar dan meningkatkan penggunaan
bahasa para pembelajar, dan menolong mereka mamadukan penggunaan strategi
strategi membaca secara efisien dan efektif dengan lebih fleksibel. Murid murid
harus terlibat secara aktif dalam kegiatan membaca dan menulis selama hampir
keseluruhan waktu yang disediakan untuk pembelajaran membaca. Hanya sebagian
kecil waktu saja yang digunakan untuk mengajarkan strategi membaca.
2. Kegiatan
Bebas
Anak-anak
perlu sekali diberikan kesempatan untuk memprakarsai
kegiatan-kegiatan
mereka sendiri dan bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Guru perlu
menyiapkan Lembar Catatan Harian untuk memberikan kesempatan kepada anak anak
mencatat kegiatan mereka sehari hari. Sebagai fasilitator, guru hendaknya
memberikan bimbingan kepada anak anak ketika mereka menentukan kegiatan belajar
mereka sendiri. Memberikan kesempatan kepada anak- anak untuk membuat
keputusan, mengatasi masalah, dan bertanggung jawab atas kegiatan belajar mereka
sendiri dapat mempersiapkan anak anak menghadapi tuntutan dunia kerja dalam
kehidupan yang sebenarnya (Schweinhart, levat Roth’ein, 1991 223-224)
Kegiatan
kegiatan bebas yang dikembangkan oleh anak anak itu harus diperhitungkan
pentingnya kaitan antara sastra dan semua segi kehidupan Konsep konsep dari
bidang studi lain seperti IPA. IPs, dan Matematika. dapat dipadukan dengan
konsep konsep yang diberi penekanan lewa sastra. musik dan tari dapat juga
dikembangkan lewat kegiatan kegiatan yang telah dirancang dengan baik. Misalnya
murid murid menanggapi
ilustrasi
cerita, membuat ilustrasi hasil karya sastra sendiri. Mendemonstrasikan suatu peristiwa, dan sebagainya. Kegiatan
kegiatan murid juga harus memberikan dorongan kepada untuk menggunakan buku sebagai
murid rujukan, berpikir secara kritis, memecahkan masalah. menganalisis unsure unsur
cerita, dan lebih memahami jenis jenis karya sastra tertentu.
3. Diskusi
Murid Guru
Ketika
anak anak sedang melakukan kegiatan wajib atau kegiatan pilihan secara individual
atau kelompok. dapat diadakan diskusi antara murid dan guru untuk menolong anak
anak yang memerlukan peningkatan dalam hal keterampilan khusus atau pemahaman.
Melalui diskusi-diskusi guru secara individual, guru dapat mengumpulkan
informasi penting murid mengenai minat anak, sikap terhadap kegiatan membaca,
dan perkembangan dalam keterampilan membaca dan keterampilan berpikir, selama
diskusi. usahakan agar murid murid tidak merasa takut atau tertekan dan berikan
dorongan kepada mereka agar mengungkapkan pendapat secara bebas Mereka harus
menganggap diskusi sebagai pengalaman yang menyenangkan. Diskusi murid-guru
tersebut hendaknya mengandung hal-hal berikut ini (Ro1991: 227 228)
(a). Diskusi mengenai bacaan yang telah
dibacaoleh murid. Diskusi dapat difokuskan pada unsur-unsur bacaan, konsep atau
permasalahan yang ada dalam bacaan, pengarang atau jenis karya sastra (genre)
(b). Pertanyaan pertanyaan untuk
mengevaluasi pemahaman murid mengenai bacaan yang dibaca. Ajukan
pertanyaan-pertanyaan yang tertuju pada hal-hal tertentu sehingga murid yang
bersangkutan terlibat dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi (menganalisis,
mensintesis, dan mengevaluasi). Apabila murid tersebut mengalami kesulitan,
ajukan pertanyaan pertanyaan tambahan untuk memerlukan remediasi.
(c). Membaca nyaring bagian bacaan yang
dipilih sendiri oleh murid. Bacaan yang dipilih itu mungkin bagian yang paling
disenangi. bagian yang membuatnya terkejut, bagian yang menyebabkan dia
tertawa. dsb.
(d). Diskusi mengenai tugas tugas yang
telah diselesaikan atau yang sedang dikerjakan. Diskusi dapat difokuskan pada
proses pemilihan kegiatan. rencana untuk mengatasi hambatan penyelesaian tugas,
mi at murid, dsb.
(e). Saran untuk kegiatan membaca
selanjutnya dan petunjuk mengenai pengembangan keterampilan.
1) Karakteristik
sastra Sebagai Bahan Ajar Kemampuan Berbahasa
Sebagai
bahan ajar, sastra memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bahan ajar
bahasa yang lain, yaitu bahasa, struktur teks, pesan, aspek kejiwaan yang di
tumbuh kembangkan, dan strategi penangkapan isi teks yang diperlulan. Ciri satu
sampai dengan tiga berkenaan dengan dan dapat ditelitikenali dari teks itu
sendiri, dan ciri empat dan lima berkenaan dengan dan dapat ditelitikenari dari
hubungan antara pembaca dengan teks sastra yang dibacanya.
Bahasa
teks sastre berciri konotatif atau kiasan dilihat dari aspekse mantis yang
dikandungaya; bersifat informal bila dilihat dari ragam bahasanya: banyak
mengandung majas. dan menonjolkan ciri wacana narasi dan deskripsi bila dilihat
dari representasi wacananya: dan kosa kata dan strukturnya menanpakkan ciri
kosa kata dan struktur bahasa informal. Dilihat dari isi pesan yang
dikandungnya teks sastra mengandung pesan pesan kemanusiaan Namun. Pesan pesan
ini bersifat tidak langsung/ terselubung. Berbeda dengan pesan- pesan
kemanusiaan yang dikandung dalam buku-buku agama dan pendidikan. Juga. Pesan ini
tidak bersifat menggurui, namun sekedar mengajak pembaca untuk secara bersama
sama memikirkan masalah masalah kemanusiaan yang ada di sekitarnya. Tindak
lanjut setelah itu bergantung sepenuhnya kepada pembaca sastra itu sendiri.
Dilihat
dari struktur teksnya, teks sastra mengandung unsur dominan karakter tokoh, alur,
peristiwa seting, dan sudut penceritaan. Karakter /tokoh ialah para pelaku
dalam cerita, yang bisa berupa manusia wajar, manusia ide, atau yang
dimanusiakan. Alur cerita mengacu kepada rangkaian peristiwa dalam cerita yang
membentuk kesatuan cerita utuh, yang bisa bersifat kronologis, bisa pula tidak
kronologis. Peristiwa ialah satuan peristiwa yang terjadi dalam cerita yang
melibatkan tokoh dengan permasalahan tertentu yang dihadapinya. peristiwa
inilah yang ditata oleh pengarang sehingga membentuk Peristiwa
cerita
yang utuh dan padu. Seting ialah waktu dan tempat teriadinya peristiwa sudut penceritaan
ialah sudut pandang yang dipakai oleh pengarang dalam menceritakan peristiwa-peristiwa
dalam cerita. sudut penceritaan ini bisa berupa sudut penceritaan akuan, diaan,
atau serta tahu.
Aspek
kejiwaan yang ditumbuh kembangkan melului membaca teks sastra ialah daya nalar,
kepekaan emosi, daya imajinasi, perluasan wawasan, dan daya kreasi. Daya nalar
ditumbuhkembangkan melalui pemahaman dan penghayatan penalaran yang digunakan
oleh para tokoh dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan kemanusiaan dan
kehidupan yang mereka hadapi. Kepekaan emosi ditumbuh kembangkan melalui
penghayatan karakter tokoh, dan peristiwa peristiwa kehidupan dan kemanusiaan
yang disajikan pengarang yang lepas dari pengahayatan membaca dalam kehidupan
sehari-hari.
Daya
imajinasi ditumbuhkembangkan melalui kegiatan berpikir asosiatif. yakni
mengasosiasikan peristiwa yang disuguhkan dalam teks satra yang dibacanya dengan
peristiwa kehidupan nyata sehari hari dan kegiatan berpikir transformatif. yakni
mentransformasikan pengalaman imajinatif dalam teks sastra menjadi pengalaman
personal pembaca. Daya kreasi ditumbuhkembangkan melalui kegiatan berpikir
divergen, rekreatif, dan kreatif saat membaca dan pasca baca teks
sastra.Kegiatan berpikir divergen ialah kegiatan berpikir alternatif yang
merupakan jawaban dari pertanyaan terbuka. Kegiatan berpikir ini diarahkan
untuk menumbuh kembangkan keberanian dan kemampuan anak mengemukakan pendapat
tanpa harus dibayangi ketakutan berbuat salah Kegiatan berpikir rekreatif ialah
kegiatan berpikir untuk menghasilkan ide ide atau gagasan gagasan baru.
Perluasan wawasan yang dimaksudkan disini ialah berkembangnya wawasan anak yang
diakibatkan oleh aktivitas belajar yang telah dilakukannya. Bahan ajar sastra
dapat dipakai untuk memperluas wawasan anak yang berkenaan dengan masalah
kehidupan dan kemanusiaan: wawasan kebahasaan anak, baik yang menyangkut kosa
kata struktur maupun wacana; dan wawasan struktur sastra anak baik yang
menyangkut wawasan isi matipun struktur instrinsik teks sastra.
Berkenaan
dengan beberapa ciri khas teks sastra yang telah dijelaskan di atas. pembaca
sastra memerlukan strategi baca yang berbeda dengan strategi baca teks-teks
nonsastra. Itu disebabkan oleh bahasa satra bersifat konotatif kias, yang
berarti pesan disajikan oleh pengarang secara terselubung. Teks seperti ini
tidak mengizinkan pembaca menggunakan cara pengaitan langsung. Artinya. pembaca
tidak dibenarkan mengaitkan secara langsung antara apa yang ada dalam teks
sastra dengan apa yang secara riil ada dalam kehidupan nyata. Ini dimaksudkan
juga, agar jarak estetik tetap terjaga antara teks sastra sebagai fenomena
imajinatif dengan kehidupan riil sebagai fenomena nyata.
Karakteristik
sastra sebagai bahan ajar di atas relevan sekali dengan misi yang diemban oleh pengajaran bahasa Indonesia. Pengajaran
bahasa Indonesia tidak hanya dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan kemampuan
berkomunikasi anak didik. tetapi juga menumbuh kembangkan kemampuan berpikir
dan bernalar, daya imanijasi. daya kreasi, kepekaan emosi, dan memperluas
wawasan anak Misi yang demikian tentu sangat sulit untuk ditunaikan dengan
hanya mengandalkan bahan ajar yang bersilat teknik dan ilmiah saja. Di sinilah
letak kedudukan bahan ajar apresiasi sastra, yakni menunaikan misi yang tak
tertunaikan dengan bahan nonsastra.
D.
Pemanfaatan
Bahan Ajar Sastra Bagi Penumbuh kembangan Kemampuan Berbahasa
Dalam
Kurikulum 1994 ditegaskan bahwa pengajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk
menumbuhkembangkan kemampuan berbahasa Indonesia. Dengan kata lain. pengajaran
bahasa Indonesia dimaksudkan untuk menyiapkan agar anak mampu berkomunikasi
dengan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Pengajaran yangm demikian pada
hakekatnya adalah pengajaran yang dimaksudkan untuk membentuk kompetensi
komunikasi. Kompetensi ini memiliki emupat unsur pokok yaitu pengetahuan dan
penguasaan kaidah tatabahasa baik fonologi, morfologi, sintaksis, maupun
semantik; penguasaan aspek aspek sosiolinguistik yang meliputi kemampuan mengenali
konteks berbahasa, memilih ragam bahasa, dan menggunakan fungsi bahasa yang
sesuai dengan konteks; penguasaan kewacanaan, yakni kemampuan mengenali dan
menggunakan cara pengorganisasian teks; dan penguasaan strategi berbahasa baik
strategi verbal maupun nonverbal. Berkaitan dengan arah penguanan bahasa
Indonesia tersebut, pengajaran apresiasi sastra dengan bahan ajar sastranya. berfungsi
sebagai wahana pembentukan kompetensi komunikasi khusus pada anak. Kompetensi
komunikasi khusus yang dimaksudkan di sini adalah kompetensi komunikasi sastra
dan kompetensi komunikasi bahasa yang lain yang beranah emotif imajinatif. Hal
ini sesuai dengan karakteristik bahan ajar sastra dan pengajaran apresiasi
sastra dalam arti luas.
Pengajaran bahasa dengan bahan ajar sastra
mengajak anak untuk mengenali karakteristik bahasa sastra sebagai salah satu
ragam bahasa Indonesia, dan karakteristik komunikasi sastra sebagai salah satu
bentuk komunikasi tulis bahasa Indonesia. Karakteristik bahasa sastra telah
dijelaskan di atas. Karakteristik komunikasi sastra antara lain: komunikasi ini
bersifat tidak langsung. Artinya pembaca lebih banyak bergantung kepada teks
sastra yang dibacanya bukan penulisnya: kehadiran penulis tidak dapat
menggantikan kedudukan teks sastra yang ditulisnya, karena teks sastra bersifat
abadi, dapat menembus batas ruang dan waktu konteks komunikasi sastra
berdimensi ganda, yaitu berdimensi teks dan berdimensi peristiwa baca ada jarak
antara realitas dalam teks sastra dengan realitas dalam kehidupan nyata, dan
antara teks sastra dengan penulisnya.
pengajaran bahasa yang demikian akan
membinakan ketrampilan berbahasa yang spesifik baik kemampuan menyimak,
berbicara, membaca, maupun menuli Di bawah ini akan disajikan contoh
pemanfaatan bahan ajar dan pengajaran apresiasi sastra sebagai landas tumpu
pengembangan kemampuan berbahasa Indonesia berdasarkan bahan pembelajaran
bahasa Indonesia dalam Kurikulum 1994.
Pengajaran
sastra selama ini dibagi menjadi dua golongan besar: pengajaran tentang sastra
dan (2) pengajaran sastra. Pengajaran tentang sastra berisi pengajaran teori
teori sastra. Pengajaran ini didasarkan pada anggapan bahwa siswa baru bisa
mengapresiasi karya sastra setelah menguasai sejumlah kaidah, konsep tesis-tesis,
dan generalisasi tentang pengertian, hakekat, jenis jenis. komunikasi. dan
sejarah sastra. Itulah sebabnya pengajaran dengan model ini selalu dimulai dengan
pengajaran teori sebelum siswa dikenalkan pada karya sastra, atau bahkan hanya
berisi teori teori. Jika mereka dikenalkan pada karya sastra, mereka hanya dikenalkan
pada judul judul karya sastra dan nama pengarangnya. Pengajaran sastra
beranggapan bahwa untuk mengapresiasi karya sastra, siswa
Comments
Post a Comment